Selasa, 10 Desember 2019

Keadilan yang Tidak Mau Berpihak Pada Ku

Karya: Grace Landong Olyvia Panjaitan Udara di sekitar sangat merasuki pori-pori ku yang kecil. Sehingga membuat bulu tanganku yang lembut dan tipis menjadi terasa, seperti jarum yang berdiri tajam. Angin malam menusuk hingga kedalam tubuhku. Aku bagaikan tidur di dalam kulkas yang hidup semalaman. Tubuhku kaku. Aku seperti es batu, yang susah untuk digerakkan. Kukenakan selimut yang berlapis-lapis hingga tujuh lapis, namun aku merasa seperti memakai selimut setipis tisu. Bibirku mulai membiru. Dan gigiku pun gemetaran bagaikan mesin jahit yang tak mau berhenti. Aku bagaikan terdampar di Kutub Utara. Kupandangi langit-langit yang sudah mulai tak terlihat, oleh karena lintasan laba-laba yang amat banyak. Tembok kusam tanpa lapisan cat yang menempel. Begitulah keadaannya. Amat sederhana. Kupejamkan mata untuk pergi ke dunia lain. Yang pasti aku senang di sana. Jikalau aku pergi ke dunia itu bagaikan hidup di surga. Dunia yang Siapa saja boleh menikmatinya. Tanpa terkecuali. Keluar masuk tanpa dipungut biaya. Cukup pejamkan matamu dan biarkan pikiran, atau imajinasimu, membawamu pergi ke dunia itu. Pergi dan nikmati dunia itu, selagi imajinasimu masih terus berjalan. Rasanya tidak ingin keluar dari dunia imajinasi tersebut. Namun itu hanyalah imajinasi. Berbeda dengan dunia yang harus kujalani. Dunia yang begitu kejam, begitu pahit, begitu penuh sandiwara dunia nyata yang hanya memikirkan harta dan jabatan tanpa memikirkan nasib orang-orang di sekitarnya. Aku masih merasakan angin malam yang masuk melalui pori-pori kulitku, yang kecil. Kelopak mataku yang terasa berat, rasanya seperti menahan beban 1 ton beratnya. Aku mulai membukakan mata, yang masih rabun untuk melihat dunia nyata, yang amat pahit, seperti minum empedu ikan. Namun itulah dunia yang wajib kujalani. Aku merasa kehilangan sesuatu, kehilangan satu hal yang sangat ku butuhkan di setiap pagi ku. Aku mulai melangkah menuju jendela kecil ku, menghirup udara segar, udara tanpa noda. Terlihat embun pagi yang masih melekat pada dedaunan pohon, rumput, dan bunga. Aku merasakan udara dingin bersih masuk ke dalam tubuhku, melalui lubang hidungku yang kecil. Seketika, aku melihat matahari tak muncul pagi ini. Mungkin dia tertutup oleh awan pagi yang gelap dan tebal. Mungkin sebentar lagi, bumi akan dijatuhi oleh ribuan titik-titik air. Dan tak lama kemudian, benar, bumi telah diserang oleh ribuan titik-titik air. Dengan membalikkan badan, tak sengaja aku melihat jam dinding tua yang menunjukkan pukul 6 pagi. "Oh... Tidak... Aku akan terlambat" teriaku. Tanpa berpikir panjang, seketika aku mulai berlari secepat kilat menuju kamar mandi dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. "Sialan.. Mengapa tidak ada yang membangunkanku" ucapku kesal. Dengan segera, setelah aku selesai memakai pakaian seragam, aku menuju ruang belajar dan segera menghadang tasku, dan pergi menuju ruang tamu untuk pamit kepada kedua orang tua. "Mengapa ibu tidak membangunkanku" ucapku kesal. "Apakah kamu tidak tahu hari ini hari apa nak? " tanya ibu. "Hari ini kan hari senin bu... Yah aku harus berangkat ke sekolah" jawabku. "Coba kamu lihat kalender" balas ibu menyuruhku. Dengan segera aku pergi ke kamar untuk melihat kalender dan seketika aku merasa tertipu ternyata hari ini adalah hari Minggu. Aku pun pergi menemui ibu di ruang tamu dengan rasa malu "Mengapa ibu tidak memberitahu kepadaku kalau hari ini adalah hari minggu? " tanyaku pada ibu. "Lah, ibu mengira kamu tahu kalau hari ini adalah hari minggu maka dari itu, ibu tidak membangunkanmu" balas ibu. "Untung saja aku tidak sampai pergi keluar untuk berangkat kesekolah, bisa-bisa aku ditertawakan oleh warga satu kampung disini" ucapku kesal. "Makanya lain kali kamu harus teliti, harus terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang akan di kerjakan, bukannya asal pergi-pergi aja" nasehat ibu. "Iya, iya bu, janji aku enggak bakal ngulangin hal itu lagi. Janji" ucapku. "Kalau begitu sekarang kamu ganti baju sana" suruh ibu. "Aku ganti baju dulu yah bu" jawabku. Dengan perasaan yang masih kesal, aku pergi ke kamar dan mulai mengganti seragamku Hari ini terlihat mendung. Sampai sekarang matahari tak mau muncul. Seperti biasa aku mulai melakukan segala pekerjaan rumah, yang telah menjadi tanggung jawab ku setiap hari. Mulai dari memasa, menyapu ruma, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Rasaku seperti budak saja. Aku selalu mengerjakan segala sesuatu yang harus dikerjakan di dalam rumah. Namun berbeda dengan saudara-saudariku yang lain, mereka hanya duduk dan memerintah saja. Namun bagiku itu sudah bias, karena setiap saat aku memang selalu di bedakan. Aku selalu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang berat, namun saudara-saudariku tida. Begitulah kenyataannya. Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah setiap pagi, dengan seorang sahabat yang selalu menunggu ku. Agar pergi bersama setiap pagi ke sekolah. Dia terlihat gemuk dan pendek. Dengan bulu-bulu tangannya yang lebat dan panjang. Dia terlihat anggun. Namun dia tak sebaik yang terlihat, dia diam-diam menyukai pacarku. Ya betul. Aku mempunyai seorang teman lelaki. Dia putih. Tidak terlalu tinggi dan baik hati. Aku tak bisa berkata apa-apa jika dia selalu dekat dengan pacarku. Karena, aku dan dia sangatlah berbeda. Dia cantik namun aku sebaliknya. Bagaikan langit dan bumi. Aku hanya bisa terdiam. Disaat melihat mereka tertawa bersama, meski rasanya sakit, namun apa boleh buat. Hidupku memang sangat tidak adil, aku selalu tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Udara di sekitar sangat merasuki pori-pori ku yang kecil. Sehingga membuat bulu tanganku yang lembut dan tipis menjadi terasa, seperti jarum yang berdiri tajam. Angin malam menusuk hingga kedalam tubuhku. Aku bagaikan tidur di dalam kulkas yang hidup semalaman. Tubuhku kaku. Aku seperti es batu, yang susah untuk digerakkan. Kukenakan selimut yang berlapis-lapis hingga tujuh lapis, namun aku merasa seperti memakai selimut setipis tisu. Bibirku mulai membiru. Dan gigiku pun gemetaran bagaikan mesin jahit yang tak mau berhenti. Aku bagaikan terdampar di Kutub Utara. Kupandangi langit-langit yang sudah mulai tak terlihat, oleh karena lintasan laba-laba yang amat banyak. Tembok kusam tanpa lapisan cat yang menempel. Begitulah keadaannya. Amat sederhana. Kupejamkan mata untuk pergi ke dunia lain. Yang pasti aku senang di sana. Jikalau aku pergi ke dunia itu bagaikan hidup di surga. Dunia yang Siapa saja boleh menikmatinya. Tanpa terkecuali. Keluar masuk tanpa dipungut biaya. Cukup pejamkan matamu dan biarkan pikiran, atau imajinasimu, membawamu pergi ke dunia itu. Pergi dan nikmati dunia itu, selagi imajinasimu masih terus berjalan. Rasanya tidak ingin keluar dari dunia imajinasi tersebut. Namun itu hanyalah imajinasi. Berbeda dengan dunia yang harus kujalani. Dunia yang begitu kejam, begitu pahit, begitu penuh sandiwara dunia nyata yang hanya memikirkan harta dan jabatan tanpa memikirkan nasib orang-orang di sekitarnya. Aku masih merasakan angin malam yang masuk melalui pori-pori kulitku, yang kecil. Kelopak mataku yang terasa berat, rasanya seperti menahan beban 1 ton beratnya. Aku mulai membukakan mata, yang masih rabun untuk melihat dunia nyata, yang amat pahit, seperti minum empedu ikan. Namun itulah dunia yang wajib kujalani. Aku merasa kehilangan sesuatu, kehilangan satu hal yang sangat ku butuhkan di setiap pagi ku. Aku mulai melangkah menuju jendela kecil ku, menghirup udara segar, udara tanpa noda. Terlihat embun pagi yang masih melekat pada dedaunan pohon, rumput, dan bunga. Aku merasakan udara dingin bersih masuk ke dalam tubuhku, melalui lubang hidungku yang kecil. Seketika, aku melihat matahari tak muncul pagi ini. Mungkin dia tertutup oleh awan pagi yang gelap dan tebal. Mungkin sebentar lagi, bumi akan dijatuhi oleh ribuan titik-titik air. Dan tak lama kemudian, benar, bumi telah diserang oleh ribuan titik-titik air. Dengan membalikkan badan, tak sengaja aku melihat jam dinding tua yang menunjukkan pukul 6 pagi. "Oh... Tidak... Aku akan terlambat" teriaku. Tanpa berpikir panjang, seketika aku mulai berlari secepat kilat menuju kamar mandi dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. "Sialan.. Mengapa tidak ada yang membangunkanku" ucapku kesal. Dengan segera, setelah aku selesai memakai pakaian seragam, aku menuju ruang belajar dan segera menghadang tasku, dan pergi menuju ruang tamu untuk pamit kepada kedua orang tua. "Mengapa ibu tidak membangunkanku" ucapku kesal. "Apakah kamu tidak tahu hari ini hari apa nak? " tanya ibu. "Hari ini kan hari senin bu... Yah aku harus berangkat ke sekolah" jawabku. "Coba kamu lihat kalender" balas ibu menyuruhku. Dengan segera aku pergi ke kamar untuk melihat kalender dan seketika aku merasa tertipu ternyata hari ini adalah hari Minggu. Aku pun pergi menemui ibu di ruang tamu dengan rasa malu "Mengapa ibu tidak memberitahu kepadaku kalau hari ini adalah hari minggu? " tanyaku pada ibu. "Lah, ibu mengira kamu tahu kalau hari ini adalah hari minggu maka dari itu, ibu tidak membangunkanmu" balas ibu. "Untung saja aku tidak sampai pergi keluar untuk berangkat kesekolah, bisa-bisa aku ditertawakan oleh warga satu kampung disini" ucapku kesal. "Makanya lain kali kamu harus teliti, harus terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang akan di kerjakan, bukannya asal pergi-pergi aja" nasehat ibu. "Iya, iya bu, janji aku enggak bakal ngulangin hal itu lagi. Janji" ucapku. "Kalau begitu sekarang kamu ganti baju sana" suruh ibu. "Aku ganti baju dulu yah bu" jawabku. Dengan perasaan yang masih kesal, aku pergi ke kamar dan mulai mengganti seragamku Hari ini terlihat mendung. Sampai sekarang matahari tak mau muncul. Seperti biasa aku mulai melakukan segala pekerjaan rumah, yang telah menjadi tanggung jawab ku setiap hari. Mulai dari memasa, menyapu ruma, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Rasaku seperti budak saja. Aku selalu mengerjakan segala sesuatu yang harus dikerjakan di dalam rumah. Namun berbeda dengan saudara-saudariku yang lain, mereka hanya duduk dan memerintah saja. Namun bagiku itu sudah bias, karena setiap saat aku memang selalu di bedakan. Aku selalu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang berat, namun saudara-saudariku tida. Begitulah kenyataannya. Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah setiap pagi, dengan seorang sahabat yang selalu menunggu ku. Agar pergi bersama setiap pagi ke sekolah. Dia terlihat gemuk dan pendek. Dengan bulu-bulu tangannya yang lebat dan panjang. Dia terlihat anggun. Namun dia tak sebaik yang terlihat, dia diam-diam menyukai pacarku. Ya betul. Aku mempunyai seorang teman lelaki. Dia putih. Tidak terlalu tinggi dan baik hati. Aku tak bisa berkata apa-apa jika dia selalu dekat dengan pacarku. Karena, aku dan dia sangatlah berbeda. Dia cantik namun aku sebaliknya. Bagaikan langit dan bumi. Aku hanya bisa terdiam. Disaat melihat mereka tertawa bersama, meski rasanya sakit, namun apa boleh buat. Hidupku memang sangat tidak adil, aku selalu tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Penulis adalah siswa SMAN 1 PURBA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolah ku Ibadahku

Oleh 'Liani sinaga' Pagi hari yang cerah,aku duduk di depan Kelas ku b...