Sabtu, 24 September 2011

Guru Jabut

Cerpen Hasan Al Banna (Koran Tempo, 21 Agustus 2011)

BUNYI nio-nio terdengar kuyup! Ketimpong gong kecil itu menyela haru rindu yang berlangsung di rumah Marapande. Bakda subuh tadi, Dorlan tiba di rumah Uda Marapande, adik kandung Ayahnya. Letih oleh perjalanan Jakarta-Medan dengan pesawat, dilanjutkan dengan bus ekonomi satu malam utuh, mendadak lenyap oleh peluk cium Uda Marapande dan istrinya, Bujing Ros. Lebih dari 15 tahun Dorlan tak mengunjungi rumah tempat ia menghabiskan masa kanak. Iyalah, Uda Marapande dan Bujing Ros tak sebugar dulu. Telikung garis usia memang tak mudah dikecoh.

Suara nio-nio makin menanjak ke telinga. Pemukulnya sudah pasti memikul seru-seruan bagi warga. Boleh jadi undangan untuk memufakatkan hal penting di sopo godang, balai adat. Namun, irama nio-nio yang tegas tapi berjeda lama, barang tentu akan menguarkan kabar dukacita. Dorlan, Uda Marapande dan Bujing Ros menyiagakan telinga.

“Telah berpulang ke rahmatullah Panangaran Bayo Angin, tutup usia kurang lebih empat puluh dua tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah Opung Omas. Insya Allah, almarhum ke tanah hari ini juga, lepas sembahyang zuhur.”

Dengung nio-nio menikung ke kejauhan. Bujing Ros memanggil napas ke dada. Uda-nya bergegas menerobos kamar. Dorlan memicing-micing mata.

“Siapa itu Panangaran….”

“Tak ingat kau sama Guru Jabut?” Bujing Ros menyalip keheranan Dorlan.

“Gu…ru Jabut…,” Garis-garis dahi Dorlan melengkung, “Guru Jabut yang….”

“Iya, yang mengajari kau mengaji,” pangkas Bujing-nya.

“Mmh….”

“Alah, Guru Jabut. Pelupa kalilah kau ini.”

Dorlan tertegun, tapi bukan karena ia mati ingatan.

“Jadi, Pana…ngaran itu Guru Jabut?” Dorlan seperti mengais kepastian ke Bujing Ros. Istri Uda-nya itu berangguk-angguk.

“Mandilah kau dulu. Habis itu makan. Biarlah Uda-mu duluan turun ke rumah duka. Kalau kau mau takziah, nanti menyusul,” titah Bujing Ros. Dorlan setengah mengangguk, setengah menerawang. Sorot matanya dilemparkan ke bubungan rumah panggung yang tak berlangit-langit.

Mmh, Guru Jabut. Manalah bisa sosok itu dikelupas dari dinding masa kanak Dorlan….

.

GURU Jabut, lelaki bertampang letih, tapi berhati cerlang. Ia dibutuhkan, tapi juga diam-diam dipencilkan. Guru Jabut itu ringan tenaga, pesuruh yang pantang mengeluh. Jaga malam di ranum sawah-ladang warga ia lakukan. Menambal atap rumah yang bocor ia tunaikan. Upahnya? Kalau tak dengan beras sepungut-dua pungut, ya, boleh kasih seikat sayur, sebungkus rokok, atau apa saja. Tak berupah pun, Guru Jabut tak kapok.

Sudah itu, Guru Jabut paling rajin ke surau. Ia tekun pula jadi guru mengaji di beranda surau. Sebagian besar anak-anak kampung seumur anak SD, Guru Jabut pengajarnya. Ia fasih tajwid, mahir pula melagukan bacaan. Suara Guru Jabut, uih, merdu berkelok. Guru Jabut tak hanya mengajar baca Quran, tapi juga memandikan sekaligus sembahyang mayit. Lantas, anak laki-laki dibimbingnya mengumandangkan bahang alias azan, juga jadi imam. Bisa dikatakan, Guru Jabut tak ambil keuntungan besar, terlebih-lebih uang, dari jasa mengajar. Lalu? Ya, itu tadi. Pokoknya para orang tua jarang merogoh saku. Guru Jabut cuma disodori beras, rencah lauk, rokok, bahkan tak sama sekali.

Benarkah Guru Jabut melakukannya tanpa pamrih? Soal itu, tanya saja Tuhan. Tapi, kalau Guru Jabut lama tak muncul di surau, tiada lain karena penyakitnya yang kumat, bukan sebab mogok tak terima upah. Kalau sudah kumat, lamanya bisa berbilang hari, bahkan berbilang minggu. Konon, Guru Jabut mengidap sakit jiwa kambuhan. Penyakit turun-temurun, kata orang-orang. Tak jarang, dalam sakitnya, Guru Jabut berceracau tak tentu hilir. Gubuknya yang compang-camping, 2 x 3 meter, berlantai tanah, berdinding tepas, beratap rumbia itu, bakal berantakan. Kendati demikian, kalau pun sedang dirundung gangguan jiwa, Guru Jabut tak pernah keluyuran, apalagi sampai mengacau di surau. Lantas, siapa yang mengurusnya? Ya, ia sendiri! Pula keluarganya sudah sejak lama hijrah ke kampung lain. Paling, Opung Omas, nenek Guru Jabut, yang sesekali datang menjenguknya. Ouh, jangan harap warga mau peduli terhadap upaya kesembuhannya.

Oya, sebentar, mengapa ia dipanggil Guru Jabut? Bukankah nama akikahnya Panangaran Bayo Angin? Dipanggil Guru, mungkin karena ia guru mengaji. Mmh, Jabut? Itu sabut kelapa! Lazimnya, tak akan ada orang kampung yang sudi digelari Jabut. Adapun jabut kerap dikaitkan dengan tahi ayam. Tiada benda yang paling dicari untuk menjumput unggun tahi ayam kecuali Jabut. Selain itu, kalau seseorang sudah diseru Jabut, tak lain untuk menyatakan bahwa seseorang itu tak berguna. Tapi Guru Jabut tak pernah mengeluh. Ia malah berkelakar, “Kalau tak ada Jabut, bah, alamat kampung kita banjir tahi ayam. Matilah kita!”

Mmh, Guru Jabut memang menyimpan sakit, tapi tidak hatinya. Ia tak pandai sakit hati. Padahal sering warga berginju gunjing: tak waras itu Guru Jabut! Tapi, anak-anak mereka belajar mengaji pada Guru Jabut juga. Bah! Ya, pada siapa lagi? Di kampung itu, banyak pemuda yang tamatan sekolah agama, tapi dengan berliuk alasan, enggan jadi guru mengaji.

Namun begitulah, warga punya gunjing, Guru Jabut punya senyum. Tetap dituntunnya anak-anak kampung belajar agama, meski para orang tua mereka menjewer telinga Guru Jabut dengan cibiran. Ah, tapi Guru Jabut tak paham kaji benci. Senantiasa riang hatinya memangku anak-anak. Padahal, tingkah anak-anak pun tak selalu diminyaki pekerti. Alah, macam tak tahu saja perilaku anak-anak.

Ha-ah. Biasanya, menjelang asar, anak-anak sudah kumpul di surau. Keriuhan pun pecah! Apalagi, cuma anak-anak yang memakmurkan surau di masa asar. Kebanyakan orang-orang dewasa masih sibuk di sawah, suntuk di ladang. Nah, pas masuk waktu, seusai Guru Jabut menyalakan pengeras suara, kontan sejumlah anak lelaki bakal berebut meledakkan suara di corong mikrofon. Barang tentu, kegaduhan sengketa suara menebar ke segenap penjuru kampung. Tak ayal, sasaran amarah Lobe Torop, pengurus surau, ya, Guru Jabut. Tapi, amarah Lobe Torop dibalas Guru Jabut dengan seringai kekeh.

O, tapi, pernah suatu kali, Guru Jabut diserapahi Lobe Torop tanpa ampun. Pasalnya, ada dua anak didiknya yang berebut mengumandangkan bahang asar. Sebab tak ada yang mau mengalah, Guru Jabut menyuruh keduanya bahang estafet. Seperdua lafaz bahang, tugas yang satu, separuh lagi ditunaikan yang satunya. Bayangkan, seperti apa wujud kumandang bahang oleh dua suara yang berlainan? Guru Jabut pun masuk buku hitam! Ia dilarang bergiat di surau, kalau tak salah, lebih dari sebulan.

Namun, Guru Jabut seolah tak dapat diceraikan dari surau, tak tahan lama-lama terberai dari anak-anak, sekalipun harus menahankan guit keusilan. Cobalah, pada sebuah peristiwa sembahyang asar, baru saja Guru Jabut menghela kedua tangan ke dada usai takbir pertama, di situ pula anak-anak meninggalkan saf. Jadilah Guru Jabut sembahyang seorang diri, jadi imam sekaligus makmum! Untung lidah Guru Jabut tak fasih mencecarkan kalimat murka. Tapi, ei, bukan ia tak punya hukuman. Seluruh anak lelaki terhukum dideretkan di saf pertama, diberi tugas jadi imam secara bersamaan. Gantian, Guru Jabut sebagai makmum. Selepas rampak suara takbir pertama, Guru Jabut menjiplak perilaku anak didiknya: pergi meninggalkan saf sambil dicekik-cekik kegeliannya sendiri. Tapi, meski demikian, anak-anak tak pernah memontennya: sakit jiwa!

Lain pula tingkah anak-anak sewaktu praktik sembahyang mayit. Anak-anak baru berkenan menunaikan sembahyang mayit kalau Guru Jabut bersedia jadi mayitnya. Nah, siapa pun yang dapat giliran imam, akan dengan sengaja memercik-mercikkan ludah saat mengeja bacaan. Tentulah wajah Guru Jabut ditempiasi ludah. Kalau sudah begitu, Guru Jabut bakal melindungi wajahnya dengan tangan sambil memelas, “Amangoi, janganlah ludahi aku! Meludah itu bukan bagian dari khusyuk!”

Namun, keusilan anak didiknya tak sampai di situ. Mendengar Guru Jabut memelas, mereka pun melonjak, pura-pura terperanjat, terus meledaklah pikuk-gelak yang tindih-menindih, “Hoi, mayitnya hidup. Ada mayit hidup. Tolong! Lari! Lari!”

Ups, demi mendamaikan kekacauan, Guru Jabut memilih menanggungkan hujan ludah dari sejumlah anak didiknya. Tapi, Guru Jabut tak pernah bersurut hati. Tabungan kasih sayangnya terhadap anak-anak selalu berlimpah. Pun anak-anak, sesungguhnya menaruh hormat pada Guru Jabut. Mereka tetap setia berimam pada Guru Jabut. Hal yang tak dilakukan sebagian besar warga dewasa di kampung itu.

Tengok saja saban magrib. Ya, para orang tua di kampung itu kan kerap telat berangkat ke surau. Maka Guru Jabut selalu pula berinisiatif berdiri di hulu saf, dan anak-anak yang jumlahnya tak lagi sebanyak asar jadi makmum yang pura-pura serius. Namun, sembahyang jemaah yang diimami Guru Jabut, tak bakal diikuti jemaah dewasa yang terlambat.

“Dari mana pula jalannya, he, orang gila jadi imam,” desis Haji Ringgas, seorang alim sepuh di kampung itu. Maka, di satu surau, berlangsunglah dua sembahyang berjemaah secara bersamaan. Separah itu? Rasa-rasanya, tak perlu lagi dikisahkan bagaimana sikap kekanak-kanakan yang terselempang di tubuh para orang dewasa di kampung itu.

.

RUMAH duka lengang. Tak terdengar sayup andung, ratap tangis. Mungkin karena mayit sudah diangkut ke bilik pemandian. Di halaman rumah bertanah miring, terdapat beberapa pentakziah berwajah enggan. Sekuat ingatan, Dorlan berupaya mengeja wajah setiap pelayat. Mana tahu, meski lupa nama, tapi hapal rupa. Sesekali Dorlan mendapati Uda Marapande hilir-mudik. Eh, siapa lelaki tua berlangkah limbung itu, bukankah ia Lobe Torop? Dorlan menyemai tanya sekaligus menuai jawab di hatinya sendiri.

Sambil memindah-mindah toleh, Dorlan melepas sapa, menyodorkan salam ke sesama hadirin belasungkawa. Namun, tatapan ganjil balasan yang diterima. Wajar, bujuk Dorlan pada hatinya. Tak ada lagi waktu baginya untuk mengisahkan bahwa belasan tahun lampau ia tinggal di kampung itu. Ia anak Baginda Hatoguan yang karena sering berpindah dinas, memilih menitipkan putranya pada sang adik, Marapande. Lalu, bersebab sudah mapan bermukim di Jakarta, Baginda Hatoguan menagih kembali anak lelakinya.

Ah, sudahlah, sembari menunggu mayit selesai dimandikan, Dorlan turut bercakap-cakap di bawah rerak tenda duka. Dari perbincangan yang tawar, Dorlan berhasil juga mengantungi satu-dua kabar. Ramlan, teman sebaya Dorlan sekaligus saingannya berebut bahang semasa kanak sudah jadi mualim di sebuah pesantren. Ia bahagia mendengarnya. Napasnya lapang. Tapi, dada Dorlan mendadak sempit ketika mengetahui Guru Jabut menghembuskan napas penghabisan di bawah cengkeraman pasung. Katanya, sejak tujuh tahun lalu Guru Jabut terpaksa dipasung karena dinilai mengganggu ketenteraman.

Dorlan bergegas naik ke rumah duka. Untung ia masih sempat menyaksikan Guru Jabut sebelum digelung kain kafan. Guru Jabut tampak lebih tua dari usianya. Tapi Dorlan tak menemukan garis-garis penderitaan di cekung wajahnya, meski tak pula wajah itu dinaungi senyum. Air mata Dorlan terbit.

Matahari makin naik menurutkan lengkung langit. Jenazah siap-siap diusung ke surau untuk disembahyangkan. Upacara pelepasan jenazah kelihatan sekenanya saja. Dorlan ikut menandu keranda saat jenazah Guru Jabut bergerak dari rumah duka. Pemberangkatan yang dingin, batin Dorlan! Pengiring jenazah pun tak lebih banyak dari pemikul keranda. Ke mana warga kampung? Tertambat di sawah atau terkurung di ladang? Atau sudah lebih dulu berkerumun di surau?

Tapi, kenyataannya, surau tak berkawan kala menyongsong jenazah Guru Jabut. Dorlan terbenam dalam cenung, sampai-sampai tak sadar kalau ia sudah khatam menunaikan sembahyang zuhur berjemaah. Dorlan baru angkat kesadaran tatkala bilal mayit berseru-seru: siapa sanak yang sudi jadi imam? Tapi jemaah cuma sudi bertikai pandang, mengundak-undak gerik bahu.

Di sela senyap, Dorlan meninggalkan saf, melangkah ke bibir keranda. Ia sempurnakan tekuk kepala. Sedang sebagian besar jemaah di belakangnya masih berdongak-dongak kepala; siapa gerangan pemuda yang jadi imam itu? Tapi, Dorlan terlanjur khusyuk untuk meladeni keheranan tersebut.

Sumpah, tak pernah Dorlan sekhusyuk ini. (*)

.

.

Griya Sakinah Medan, 2011

Hasan Al Banna lahir di Padangsidempuan, Sumatera Utara, 3 Desember 1978. Buku cerita pendeknya, Sampan Zulaiha (2011). Bekerja di Balai Bahasa Medan dan mengajar sastra di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan.
Jejak

Di bawah pohon mahoni kampus serambi,
di alun-alun terbuka sebuah ranah,
kala rindu menepi membangun dermaga,
pada jiwa yang tumbuh dari bumi,
dalam senyum merekah yang bisa dipetik dari ladang,
pada aroma satu jiwa yang telah hilang,
kuakui aku rindu padamu…

Teringat kisah bersama kalian, dulu membuihkan mulut mengeja tuk berlatih. Di bawah pohon rindang Unimed, ngumpul uang lima ribu lima ribu untuk membeli kemek-kemek. Dari sudut jalan terlihat tergesa-gesa Sri dkk. yang sudah terlambat, tetapi tetap ditunggu, karena kalau mereka tak datang, tak khusuk rasanya. Dan Sri pun berucap, “Maap ya baru siap kuliah juga.”
Per dua minggu, menggelar karpet di belakang UMSU, di bawah pohon belimbing, meneduhkan rindu pada pena. Sesekali menjajah sekretariat BEM FKIP UMSU menemu tawa. Di situ pula, aku sering terlambat, “Sori,aku terlambat lagi woi…,” selepas itu kusambung lagi, “hehheheheheeee.”
Sayum Sabah menjadi saksi menulis di tengah sungai pada atas batu, menulis puisi bersambung ketika basah oleh air hulu. Malam itu kita menimba cerita dengan beliau. Siapa yang tak menemu baru ketika membaca puisi di bawah pohon coklat. Eh, kala petang bermain diiringi musik. Dan pulang diguyur hujan. Oi, jadi terlambat nyampe di rumah. Dalam hati, “Mudah-mudahan aja adek-adek ni gak pada dimarahni setelah nyamper rumah.”
Berjalan masa pada alam, rindu beralih pada sudut taman budaya. Dari situ disulam jejak-jejak penemu tulis. Sempat aku berkilah, “Kita harus mengembangkan ‘sayap’, pelatihan di kampus masing-masing. Kita buat aja Kompak Unimed, Kompak UMSU, Kompak Nomensen,” Namun dengan teguh dijawab oleh Sri, “Tidak! Kita harus tetap satu! Kita pelatihan di sekretariat. Ya, di Taman Budaya ini.”

Rudi Saragih

Sekolah ku Ibadahku

Oleh 'Liani sinaga' Pagi hari yang cerah,aku duduk di depan Kelas ku b...